BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Negara
Indonesia merupakan negara yang kaya akan produk kuliner. Dari Sabang sampai
Merauke dapat dengan mudah kita temukan beragam jenis masakan yang dapat
memanjakan lidah para penikmatnya. Tidak hanya makanan buatan manusia saja,
tapi juga produk buatan pabrik. Kita tentu sangat mengenal produk makanan
seperti mie instan, sarden, noughat, dan produk lainnya. Makanan produksi
pabrik tersebut bisa bertahan sangat lama di supermarket, bahkan bisa samai
beberapa tahun. Tentu saja alasannya adalah makanan tersebut telah diberi
pengawet yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada makanan tersebut
sehingga makanan tersebut dapat bertahan lebih lama. Zat pengawet makanan yang
terdapat pada makanan produksi pabrik tersebut tentu saja aman dikonsumsi
selama belum mencapai tanggal kadaluwarsa. Hal tersebut dikarenakan makanan
keluaran pabrik tentu saj sudah lolos uji dari departemen kesehatan. Lalu
bagaimana dengan nasib makanan konvensional?
Makanan
konvensional seperti bakso, tahu, mie, gorengan, dan makanan lainnya merupakan
makanan yang sangat banyak dikonsumsi oleh penduduk Indonesia yang sebagian
besar adalah penduduk desa. Makanan tersebut tentu tidak dapat bertahan lama
seperti makanan-makanan pabrik. Makanan konvensional sama sekali tidak
menggunakan pengawet makanan seperti yang digunakan oleh pabrik. Hal tersebut
dapat menyebabkan para pedagang makanan menjadi sangat rugi terutama apabila
makanannya tidak habis terjual.
Pada
akhirnya hal tersebut dijadikan kesempatan oleh para pedagang “nakal” untuk
membuat sebuah pengalaman usaha. Banyak kita lihat di beberapa acara
investigasi berita di televisi bahwa ternyata banyak pedagang nakal yang
menggunakan zat pengawet berbahaya untuk membuat makanan yang mereka jual
menjadi lebih lama. Tentu hal ini tidak membuat para pedagang merugi karena zat
pengawet yang mereka gunakan memiliki harga yang sangat murah dan sangat mudah
ditemukan di pasaran. Jenis bahan pengawet makanan berbahaya yang banyak
beredar di pasaran dan banyak digunakan oleh para pedagang makanan “nakal”
adalah formalin. Entah para pedagang itu tahu atau tidak mengenai bahaya yang
ditimbulkan akibat mengkonsumsi makanan yang mengandung formalin. Para pedagang
hanya memikirkan keuntungan yang mereka peroleh. Seperti orang Indonesia pada
umumnya, mereka berpikiran bagaimana untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya dengan modal yang angat sedikit.
Salah
satu keuntungan para pedagang “nakal” itu adalah tidak adanya uji makanan
konvensional. Makanan konvensional terdapat dalam jumlah besar di masyarakat
dan siapapun dapat dengan mudah membuatnya. Sehingga sangat tidak mungkin bagi
departemen kesehatan untuk menguji satu persatu makanan yang telah beredar luas di masyarakat tanpa terkendali.
Satu
hal yang membuat miris dalam fenomena ini adalah banyak konsumen yang tidak
mengetahui bahwa ternyata makanan yang mereka makan sangat berbahaya bagi
mereka. Bisa juga mereka tahu bahwa makanan yang mereka konsumsi mengandung zat
yang berbahaya bagi mereka. Yang mereka pedulikan adalah bahwa mereka lapar dan
sangat menyukai makanan itu dan mereka ingin memakannya. Kurangnya pengetahuan
dari masyarakat mengenai makanan yang mengandung formalin mendatangkan
keuntungan tersendiri bagi para pedagang makanan karena aksi mereka tidak
tercium dan otomatis mereka akan tetap mendapatkan keuntungan.
Mungkin
yang perlu dibenahi adalah para pedagang “nakal”. Mereka perlu diberi
pengertian untuk mengganti zat pengawet yang mereka gunakan dengan bahan lain
yang lebih sehat dan tidak membahayakan manusia. Mungkin disini terkesan bahwa
formalin merupakan zat pengawet makanan yang sudah ada sejak dulu dan diterima
di masyarakat dan akan diganti dengan bahan lain. Namun kita melihat dari
konteks bahwa formalin merupakan bahan berbahaya yang sudah meluas di pasaran
dan harus diganti dengan bahan lain yang lebih sehat.
Di
Indonesia terdapat beraneka jenis tanaman yang memiliki beragam manfaat, salah
satunya adalah sebagai pengawet makanan. Para pedagang mungkin tidak mengetahui
mengenai hal ini, atau mereka mengetahui namun mereka menganggap bahwa
menggunakan tanaman sebagai bahan pengawet lebih rumit dan sangat sulit.
Sehingga mereka lebih memilih menggunakan formalin yang lebih praktis dan mudah
untuk digunakan.
Berangkat
dari fenomena yang terjadi di masyarakat tersebut, maka penulis mencoba untuk
menawarkan sebuah solusi. Melalui makalah ini, penulis ingin memberikan sebuah
solusi mengenai zat pengawet makanan yang alami dan sehat untuk dikonsumsi. Penulis
akan menawarkan kecombrang sebagai pengawet makanan alami dan akan membahas
lebih lanjut mengenai tanaman kecombrang.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa sajakah dampak negatif penggunaan
formalin pada makanan terhadap kesehatan manusia?
1.2.2
Bagaimana cara membedakan makanan yang
mengandung formalin dengan makanan yang tidak mengandung formalin?
1.2.3
Apa sajakah kandungan dari tanaman
kecombrang?
1.2.4
Apa sajakah kegunaan dari tanaman
kecombrang?
1.2.5
Apa sajakah keuntungan dari menggunakan
kecombrang sebagai pengawet makanan alami?
1.3
Tujuan
Tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1
Untuk mengetahui efek negatif dari
penggunaan formalin sebagai pengawet makanan terhadap kesehatan manusia.
1.3.2
Untuk mengetahui perbedaan antara
makanan yang mengandung formalin dengan makanan yang bebas dari formalin.
1.3.3
Untuk mengetahui kandungan yang terdapat
dalam tanaman kecombrang.
1.3.4
Untuk mengetahui berbagai macam kegunaan
dari tanaman kecombrang.
1.3.5
Untuk mengetahui keuntungan dari
menggunakan kecombrang sebagai pengawet alami.
1.4
Manfaat
Manfaat
dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.4.1
Pembaca dapat mengetahui efek negatif
dari penggunaan formalin sebagai pengawet makanan terhadap kesehatan manusia.
1.4.2
Pembaca dapat membedakan ciri-ciri
makanan yang mengandung formalin dengan makanan yang tidak mengandung formalin
sehingga pembaca dapat lebih berhati-hati dalam memilih makanan mana saja yang
boleh dikonsumsi dan makanan mana yang tidak boleh dikonsumsi.
1.4.3
Pembaca dapat mengetahui alternatif lain
yang bisa digunakan sebagai pengawet makanan alami yang tidak membahayakan
kesehatan, misalnya tanaman kecombrang.
1.4.4
Pembaca dapat mengetahui kandungan yang
terdapat dalam tanaman kecombrang sehingga tanaman tersebut layak digunakan
sebagai pengawet makanan alami.
1.4.5
Pembaca dapat mengetahui berbagai
kegunaan dari tanaman kecombrang.
1.4.6
Pembaca dapat mengetahui berbagai keuntungan
yang bisa diperoleh dari menggunakan tanaman kecombrang sebagai pengawet
makanan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Formalin
(Formaldehide)
Senyawa kimia
formaldehida (juga disebut metanal, atau formalin), merupakan aldehida
dengan rumus kimia H2CO, yang berbentuknya gas, atau cair
yang dikenal sebagai formalin,
atau padatan
yang dikenal sebagai paraformaldehyde atau trioxane. Formaldehida
awalnya disintesis oleh kimiawan Rusia
Aleksandr Butlerov
tahun 1859,
tapi diidentifikasi oleh Hoffman tahun 1867.
Pada umumnya, formaldehida
terbentuk akibat reasi oksidasi
katalitik pada metanol.
Oleh sebab itu, formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran bahan yang
mengandung karbon
dan terkandung dalam asap pada kebakaran hutan,
knalpot mobil,
dan asap tembakau.
Dalam atmosfer
bumi, formaldehida dihasilkan dari aksi cahaya matahari
dan oksigen
terhadap metana
dan hidrokarbon lain yang ada di atmosfer. Formaldehida
dalam kadar kecil sekali juga dihasilkan sebagai metabolit
kebanyakan organisme, termasuk manusia.
Meskipun dalam udara bebas
formaldehida berada dalam wujud gas, tetapi bisa larut dalam air (biasanya
dijual dalam kadar larutan
37% menggunakan merk dagang 'formalin' atau 'formol' ). Dalam air, formaldehida
mengalami polimerisasi dan sedikit sekali yang ada dalam bentuk monomer H2CO.
Umumnya, larutan ini mengandung beberapa persen metanol
untuk membatasi polimerisasinya. Formalin
adalah larutan formaldehida dalam air, dengan kadar antara 10%-40%.
Sifat Formalin
Meskipun formaldehida menampilkan
sifat kimiawi seperti pada umumnya aldehida, senyawa ini lebih reaktif daripada
aldehida lainnya. Formaldehida merupakan elektrofil,
bisa dipakai dalam reaksi substitusi aromatik elektrofilik
dan sanyawa aromatik
serta bisa mengalami reaksi adisi elektrofilik
dan alkena.
Dalam keberadaan katalis
basa,
formaldehida bisa mengalami reaksi Cannizzaro,
menghasilkan asam format dan metanol.
Formaldehida bisa membentuk trimer
siklik, 1,3,5-trioksana
atau polimer linier polioksimetilena.
Formasi zat ini menjadikan sifat-sifat gas formaldehida berbeda dari sifat gas ideal,
terutama pada tekanan tinggi atau udara dingin.
Formaldehida bisa dioksidasi
oleh oksigen atmosfer menjadi asam format,
karena itu larutan formaldehida harus ditutup serta diisolasi supaya tidak
kemasukan udara.
Produksi Formalin
Secara industri, formaldehida
dibuat dari oksidasi
katalitik
metanol. Katalis yang paling sering dipakai adalah logam perak
atau campuran oksida besi
dan molibdenum
serta vanadium.
Dalam sistem oksida besi yang lebih sering dipakai (proses Formox), reaksi
metanol dan oksigen
terjadi pada 250 °C dan menghasilkan formaldehida, berdasarkan persamaan kimia
Katalis yang menggunakan perak
biasanya dijalankan dalam temperatur yang lebih tinggi, kira-kira 650 °C.
dalam keadaan ini, akan ada dua reaksi kimia
sekaligus yang menghasilkan formaldehida: satu seperti yang di atas, sedangkan
satu lagi adalah reaksi dehidrogenasi
Bila formaldehida ini dioksidasi
kembali, akan menghasilkan asam format
yang sering ada dalam larutan formaldehida dalam kadar ppm.
Di dalam skala yang lebih kecil,
formalin bisa juga dihasilkan dari konversi etanol,
yang secara komersial tidak menguntungkan.
Kegunaan Formalin
Formaldehida dapat digunakan untuk
membasmi sebagian besar bakteri,
sehingga sering digunakan sebagai disinfektan
dan juga sebagai bahan pengawet. Sebagai disinfektan, Formaldehida dikenal juga
dengan nama formalin dan
dimanfaatkan sebagai pembersih; lantai, kapal, gudang dan pakaian.
Formaldehida juga dipakai sebagai
pengawet dalam vaksinasi. Dalam bidang medis, larutan
formaldehida dipakai untuk mengeringkan kulit, misalnya mengangkat kutil.
Larutan dari formaldehida sering dipakai dalam membalsem untuk mematikan
bakteri serta untuk sementara mengawetkan bangkai.
Dalam industri, formaldehida
kebanyakan dipakai dalam produksi polimer
dan rupa-rupa bahan kimia. Jika digabungkan dengan fenol,
urea,
atau melamina,
formaldehida menghasilkan resin
termoset
yang keras. Resin ini dipakai untuk lem permanen, misalnya yang dipakai untuk kayulapis/tripleks
atau karpet.
Juga dalam bentuk busa-nya sebagai insulasi.
Lebih dari 50% produksi formaldehida dihabiskan untuk produksi resin
formaldehida.
Untuk mensintesis bahan-bahan
kimia, formaldehida dipakai untuk produksi alkohol
polifungsional seperti pentaeritritol,
yang dipakai untuk membuat cat
bahan peledak. Turunan formaldehida
yang lain adalah metilena difenil diisosianat,
komponen penting dalam cat dan busa poliuretana,
serta heksametilena
tetramina, yang dipakai dalam resin fenol-formaldehida untuk
membuat RDX (bahan peledak).
Sebagai formalin, larutan senyawa
kimia ini sering digunakan sebagai insektisida
serta bahan baku pabrik-pabrik resin plastik dan bahan peledak.
Berikut ini merupakan daftar
beberapa kegunaan dari formalin.
- Pengawet mayat
- Pembasmi lalat dan serangga
pengganggu lainnya.
- Bahan pembuatan sutra
sintetis,
zat pewarna, cermin,
kaca
- Pengeras lapisan gelatin
dan kertas
dalam dunia Fotografi.
- Bahan pembuatan pupuk
dalam bentuk urea.
- Bahan untuk pembuatan produk parfum.
- Bahan pengawet produk kosmetika
dan pengeras kuku.
- Pencegah korosi
untuk sumur minyak
- Dalam konsentrasi yang sangat kecil
(kurang dari 1%), Formalin digunakan sebagai pengawet untuk berbagai
barang konsumen seperti pembersih
barang rumah tangga, cairan pencuci piring,
pelembut kulit,
perawatan sepatu, shampoo
mobil,
lilin,
pasta gigi, dan pembersih karpet.
Ciri-Ciri Makanan Berformalin
Melalui sejumlah survei
dan pemeriksaan laboratorium, ditemukan sejumlah produk pangan yang
menggunakan formalin sebagai pengawet. Praktek yang salah seperti ini dilakukan
oleh produsen
atau pengelola pangan yang tidak bertanggung jawab. Beberapa contoh produk yang
sering diketahui mengandung formalin, misalnya tahu, bakso, ayam, ikan, dan
lain sebagainya. Beriku ini merupakan ciri-ciri dari berbagai makanan
berformalin yang membedakannya dari makanan tak berformalin.
1.
Ciri-ciri mie basah berformalin: tidak
rusak sampai dua hari pada suhu kamar (25 derajat celcius) dan bertahan lebih
dari 15 hari pada suhu lemari es (10 derajat celsius). Tidak lengket dan mie
lebih mengkilap dibandingkan mie normal. Bau agak menyengat seperti bau
formalin.
2.
Ciri-ciri tahu berformalin: Tidak rusak
sampai 3 hari pada suhu kamar 25 derajat Celsius dan bisa tahan lebih dari 15
hari pada suhu lemari es (10 derajat celsius). Tahu terlampau keras, kenyal namun tidak padat. Bau
agak menyengat.
3.
Ciri-ciri
ikan segar atau hasil laut berformalin: tidak rusak sampai 3 hari pada suhu
kamar (25 derajat C). Warna insang merah tua tidak cemerlang, bukan merah segar
dan warna daging ikan putih bersih. Bau formalin atau agak menyengat.
4.
Ciri-ciri
ikan asin berformalin: tidak rusak sampai lebih dari 1 bulan pada suhu 25
derajat celsius. Bersih cerah dan tidak berbau khas ikan asin. Tidak dihinggapi
lalat di area berlalat.
5.
Ciri-ciri baso berformalin: Tidak rusak
sampai 2 hari pada suhu kamar 25 derajat celsius, teksturnya sangat kenyal dan
bau formalin agak menyengat.
6.
Ciri-ciri ayam berformalin: Tidak rusak
sampai 2 hari pada suhu kamar 25 derajat Celsius, teksturnya kencang dan bau
formalin tercium.
Efek Bagi Tubuh
Karena resin
formaldehida dipakai dalam bahan konstruksi seperti kayu lapis/tripleks,
karpet, dan busa semprot dan isolasi, serta karena resin ini melepaskan
formaldehida pelan-pelan, formaldehida merupakan salah satu polutan dalam
ruangan yang sering ditemukan. Apabila kadar di udara lebih dari 0,1 mg/kg,
formaldehida yang terhisap bisa menyebabkan iritasi kepala
dan membran mukosa, yang menyebabkan
keluarnya air mata, pusing, teggorokan serasa terbakar, serta kegerahan.
Jika terpapar formaldehida dalam
jumlah banyak, misalnya terminum, bisa menyebabkan kematian. Dalam tubuh
manusia, formaldehida dikonversi menjadi asam format
yang meningkatkan keasaman darah, tarikan napas menjadi pendek dan sering, hipotermia,
juga koma, atau sampai kepada kematiannya.
Di dalam tubuh, formaldehida bisa
menimbulkan terikatnya DNA
oleh protein,
sehingga mengganggu ekspresi genetik
yang normal. Binatang percobaan yang menghisap formaldehida terus-terusan
terserang kanker
dalam hidung
dan tenggorokannya, sama juga dengan yang dialami oleh
para pegawai pemotongan papan artikel. Tapi, ada studi yang menunjukkan apabila
formaldehida dalam kadar yang lebih sedikit, seperti yang digunakan dalam
bangunan, tidak menimbulkan pengaruh karsinogenik
terhadap makhluk hidup yang terpapar zat tersebut.
Pertolongan Pertama Akibat Keracunan Formalin
Pertolongan tergantung pada
konsentrasi cairan dan gejala yang dialami korban. Sebelum ke rumah sakit, berikan
arang aktif (norit)
bila tersedia. Jangan melakukan rangsangan agar korban muntah, karena akan
menimbulkan risiko trauma
korosif
pada saluran cerna
atas. Di rumah sakit biasanya tim medis akan melakukan bilas lambung (gastric lavage),
memberikan arang aktif (walaupun pemberian arang aktif akan mengganggu
penglihatan pada saat endoskopi).
Endoskopi adalah tindakan untuk mendiagnosis terjadinya trauma esofagus
dan saluran cerna. Untuk meningkatkan eliminasi formalin dari tubuh dapat
dilakukan hemodialisis (cuci darah). Tindakan ini diperlukan
bila korban menunjukkan tanda-tanda asidosis metabolik
berat.
Nilai Ambang Batas Penggunaan Formalin
Sebenarnya
batas toleransi Formaldehida (formalin adalah nama dagang zat ini) yang dapat
diterima tubuh manusia dengan aman adalah dalam bentuk air minum, menurut International
Programme on Chemical Safety(IPCS), adalah 0,1 mg per liter atau dalam satu
hari asupan yang dibolehkan adalah 0,2 mg. Sementara formalin yang boleh masuk
ke tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per
hari. Berdasarkan standar Eropa, kandungan formalin yang masuk dalam tubuh
tidak boleh melebihi 660 ppm (1000 ppm setara 1 mg/liter). Sementara itu, berdasarkan
hasil uji klinis, dosis toleransi tubuh manusia pada pemakaian secara
terus-menerus (Recommended Dietary Daily Allowances/RDDA) untuk formalin
sebesar 0,2 miligram per kilogram berat badan. Misalnya berat badan seseorang
50 kilogram, maka tubuh orang tersebut masih bisa mentoleransi sebesar 50
dikali 0,2 yaitu 10 miligram formalin secara terus-menerus. Sedangkan standar
United State Environmental Protection Agency/USEPA untuk batas toleransi
formalin di udara, tercatat sebatas 0.016 ppm. Sedangkan untuk pasta gigi dan
produk shampo menurut peraturan pemerintah di negara-negara Uni Eropa (EU
Cosmetic Directive) dan ASEAN (ASEAN Cosmetic Directive) memperbolehkan
penggunaan formaldehida di dalam pasta gigi sebesar 0.1 % dan untuk produk
shampoo dan sabun masing-masing sebesar 0.2 %. Peraturan ini sejalan dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan makanan (BPOM) di
Indonesia (Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat & Makanan RI No
HK.00.05.4.1745, Lampiran III “Daftar zat pengawet yang diizinkan digunakan
dalam Kosmetik dengan persyaratan…” no 38 : Formaldehid dan paraformaldehid)
(Fahruddin 2007)
Walaupun
daya awetnya sangat luar biasa, formalin dilarang digunakan pada makanan. Di
Indonesia, beberapa undang-undang yang melarang penggunaan formalin sebagai
pengawet makanan adalah Peraturan Menteri Kesehatan No 722/1988, Peraturan
Menteri Kesehatan No. 1168/Menkes/PER/X/1999, UU No 7/1996 tentang Pangan dan
UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (Paisal 2007).
2.2 Kecombrang
Tumbuhan kecombrang (Etlingera eliator)
merupakan tumbuhan yang tersebar cukup luas di Indonesia. Penggunaan Etlingera
eliator sebagai bahan obat sangat banyak ragamnya. Tumbuhan ini digunakan
sebagai bahan pangan dan juga dapat digunakan untuk pengobatan (Antoro, 1995).
Kecombrang
termasuk dalam divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae,
kelas monocotyledone, bangsa zingiberales, suku 5 zingiberaceae,
marga Nicolaia, dan jenis Nicolaia speciosa Horan.
Kecombrang,
kantan, atau honje (Etlingera elatior)
adalah sejenis tumbuhan rempah dan merupakan tumbuhan tahunan berbentuk terna
yang bunga, buah, serta bijinya dimanfaatkan sebagai bahan sayuran. Nama
lainnya adalah kincung (Medan), kincuang dan sambuang (Minangkabau) serta siantan
(Malaya). Orang Thai menyebutnya kaalaa.
Ciri-ciri
batang, daun, dan bunga
Honje
berwarna kemerahan seperti jenis tanaman hias pisang-pisangan. Jika batangnya
sudah tua, bentuk tanamannya mirip jahe atau lengkuas, dengan tinggi mencapai 5
m.
Batang-batang
semu bulat gilig, membesar di pangkalnya; tumbuh tegak dan banyak,
berdekat-dekatan, membentuk rumpun jarang, keluar dari rimpang yang menjalar di
bawah tanah. Rimpangnya tebal, berwarna krem, kemerah-jambuan ketika masih
muda. Daun 15-30 helai tersusun dalam dua baris, berseling, di batang semu;
helaian daun jorong lonjong, 20-90 cm × 10-20 cm, dengan pangkal membulat atau
bentuk jantung, tepi bergelombang, dan ujung meruncing pendek, gundul namun
dengan bintik-bintik halus dan rapat, hijau mengkilap, sering dengan sisi bawah
yang keunguan ketika muda.
Bunga
dalam karangan berbentuk gasing, bertangkai panjang 0,5-2,5 m × 1,5-2,5 cm,
dengan daun pelindung bentuk jorong, 7-18 cm × 1-7 cm, merah jambu hingga merah
terang, berdaging, melengkung membalik jika mekar. Kelopak bentuk tabung,
panjang 3-3,5 cm, bertaju 3, terbelah. Mahkota bentuk tabung, merah jambu,
hingga 4 cm. Labellum serupa sudip, sekitar 4 cm panjangnya, merah terang dengan
tepian putih atau kuning.
Buah
berjejalan dalam bongkol hampir bulat berdiameter 10-20 cm; masing-masing butir
2-2,5 cm besarnya, berambut halus pendek di luarnya, hijau dan menjadi merah
ketika masak. Berbiji banyak, coklat kehitaman, diselubungi salut biji (arilus)
putih bening atau kemerahan yang berasa masam.
Manfaat
Kecombrang
atau bunga honje terutama dijadikan bahan campuran atau bumbu penyedap berbagai
macam masakan di Nusantara. Kuntum bunga ini sering dijadikan lalap atau
direbus lalu dimakan bersama sambal di Jawa Barat. Kecombrang yang dikukus juga
kerap dijadikan bagian dari pecel di daerah Banyumas. Di Pekalongan, kecombrang
yang diiris halus dijadikan campuran pembuatanmegana, sejenis urap berbahan
dasar nangka muda. Di Malaysia dan Singapura, kecombrang menjadi unsur penting
dalam masakan laksa.
Di
Tanah Karo, buah honje muda disebut asam cekala. Kuncup bunga serta
"polong"nya menjadi bagian pokok dari sayur asam Karo; juga menjadi
peredam bau amis sewaktu memasak ikan. Masakan Batak populer, arsik ikan mas,
juga menggunakan asam cekala ini. DiPalabuhanratu, buah dan bagian dalam pucuk
honje sering digunakan sebagai campuran sambal untuk menikmati ikan laut bakar.
Honje
nama lain kecombrang juga dapat dimanfaatkan sebagai sabun dengan dua cara:
mengosokkan langsung batang pohon honje ke tubuh dan wajah atau dengan
mememarkan pelepah batang daun honje hingga keluar busa yang harum yang dapat
langsung digunakan sebagai sabun. Tumbuhan ini juga dapat digunakan sebagai
obat untuk penyakit yang berhubungan dengan kulit, termasuk campak. Bunga pokok
ini yang berwarna merah muda banyak digunakan sebagai gubahan hiasan manakala
tunas bunga ini dijadikan bahan memasak dalam masakan Melayu seperti laksa.
Tumbuhan ini mengandungi banyak bahan antioksidan yang amat baik untuk
kesehatan (Infotek, 2009).
Penelitian
yang telah dilakukan pada rimpang lengkuas (A. galanga) yang termasuk
satu famili dengan kecombrang telah membuktikan bahwa senyawa fenolik,
flavonoid, minyak atsiri, terpena, asam organik tanaman, asam lemak, ester asam
lemak tertentu, dan alkaloid tanaman ini mempunyai aktivitas antimikroba
(Haraguchi et al., 1998). Berdasarkan penelitian, kecombrang bermanfaat
sebagai antimikroba. Antimikroba adalah bahan yang bisa mencegah pertumbuhan
bakteri, kapang dan khamir pada makanan. Hal ini telah menunjukkan bahwa
ekstrak bunga kecombang dari etil asetat dan etanol yang telah mampu menghambat
7 pertumbuhan jenis bakteri yaitu Stapyllocaccus aures, L.monocytogenes,
Bacillus cereus, S. Typhimurium, E Coli, A Hydrophila dan
P aeruginosa. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antibakteri
bunga kecombrang antara lain pH, NaCl (garam), dan pemanasan. Pada pH asam
aktivitas anti bakteri bunga kecombrang lebih ampuh dibanding pH basa (8-9).
Penambahan NaCl dalam jumlah tertentu akan meningkatkan aktivitas
antibakterinya. Meskipun dipanaskan pada suhu 100ºC sampai 30 menit,
antibakteri pada kecombrang masih aktif. Bunga kecombrang mungkin dapat
digunakan sebagi pengawet alami untuk makanan tetapi masih memerlukan
penelitian yang lebih lanjut (Naufalin, 2005).
Adapun
kompisisi kimia kecombrang adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1
Komposisi Kimia Kecombrang
Kecombrang
|
|
Nilai nurtrisi per 100 g (3.5 oz)
|
|
0 kJ (0 kcal)
|
|
4.4 g
|
|
1.2 g
|
|
1.0 g
|
|
1.3 g
|
|
91 g
|
|
32 mg (3%)
|
|
4 mg (32%)
|
|
27 mg (7%)
|
|
30 mg (4%)
|
|
541 mg (12%)
|
|
0.1 mg (1%)
|
|
Komponen
bioaktif pada ekstrak kecombrang berbeda-beda sesuai dengan polaritasnya.
Komponen fitokimia ekstrak heksana terdiri dari steroid, triterpenoid,
alkaloid, dan glukosida. Komponen fitokimia ekstrak etil asetat adalah steroid,
terpenoid, alkaloid, flavonoid, dan glikosida. Sedangkan ekstrak etanol
menghasilkan komponen fenolik, terpenoid, alkaloid, saponin, dan glikosida.
Rendemen ekstrak yang diperoleh sangat rendah yaitu 2,9% untuk ekstrak etanol,
2,4% untuk ekstrak etil asetat, dan 9,1% untuk ekstrak heksana. Rendemen
ekstrak dihitung sebagai % (v/b) pada setiap ml ekstrak/100 gram bubuk
kecombrang (Naufalin, 2005).
Tanaman Kecombrang sebagai Pengawet Alami
Salah
satu tanaman sumber antioksidan alami adalah tanaman kecombrang. Kandungan
fitokimia bunga, batang, rimpang dan daun kecombrang hasil penelitian Naufalin
(2005) diperoleh senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid,
triterpenoid, steroid, dan glikosida yang berperan aktif sebagai antioksidan.
Menurut Antoro (1995), pada rimpang ditemukan senyawa alkaloid, flavonoid dan
minyak atsiri yang bertindak sebagai antioksidan. Tampubolon et al. (1983)
menyebutkan bahwa kecombrang mengandung senyawa bioaktif seperti polifenol,
alkaloid, flavonoid, steroid, saponin dan minyak atsiri yang diduga memiliki
potensi sebagai antioksidan.
Penggunaan
pengawet alami tanaman kecombrang telah lama digunakan masyarakat secara
tradisional pada berbagai macam olahan pangan. Namun demikian, pada skala
industri tentunya penggunaan bunga, batang dan bagian kecombrang lainnya
dinilai kurang praktis. Oleh karena itu, perlu dilakukan ekstraksi tanaman
kecombrang untuk mendapatkan komponen bioaktifnya. Menurut Houghton dan Raman
(1998), pengawet alami dari tanaman dapat diperoleh dengan cara ekstraksi
dengan pelarut yaitu dengan cara mempertemukan bahan yang akan diekstrak dengan
pelarut organik selama waktu tertentu, diikuti pemisahan filtrat dari residu
bahan yang diekstrak.
Pemanfaatan
senyawa antioksidan alami dalam bentuk ekstrak memiliki beberapa kekurangan, antara
lain tingginya kemungkinan kehilangan komponen volatil dalam proses pengolahan
dengan suhu tinggi, mudah teroksidasi, dan tidak mudah terdispersi dalam bahan
kering dan bentuknya yang sulit ditangani (Koswara, 2007). Cara untuk mengatasi
kekurangan tersebut adalah dengan mencampur ekstrak tanaman dengan bahan
penstabil menjadi formula.
Penelitian
ini menggunakan formula ekstrak kecombrang yang merupakan campuran ekstrak
buah, batang, bunga dan rimpang kecombrang dengan dekstrin, gelatin, Tween 80
dan NaCl pada perbandingan tertentu. Komposisi formula ekstrak kecombrang yang
digunakan adalah formula ekstrak kecombrang yang telah lolos uji sifat
antimikroba hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Istiqomah (2011).
Menurut Haraguchi et al. (1998) senyawa antimikroba seperti fenolik, flavonoid,
minyak atsiri, terpena, asam organik tanaman, asam lemak, ester asam lemak
tertentu dan alkaloid juga memilki aktivitas antioksidan.
Selain
itu, identifikasi senyawa-senyawa yang berperan aktif sebagai antioksidan juga
perlu dilakukan. Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu cara untuk
memisahkan substansi campuran menjadi komponen-komponennya sehingga mem-bentuk
pola kromatografis yang berbeda pada masing-masing sampel ekstrak kecombrang
yang diuji.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Kenyataan di Lapangan
Dewasa
ini, sangat sering kita temukan para pedagang makanan konvensional seperti
bakso misalnya. Mulai dari pedagang bakso jalanan sampai para pemilik warung
bakso. Sang konsumen pun tidak pernah berpikir panjang untuk menyantap makanan
tersebut, asal mereka suka. Padahal belum tentu makanan yang mereka konsumsi
itu aman-aman saja. Kenyataannya, banyak para pedagang yang melakukan
kecurangan terhadap makanan tersebut. Dengan alasan bahwa bakso itu terbuat dari
daging dan daging merupakan makanan yang tidak tahan lama, maka para pedagang
menggunakan pengawet untuk membuat bakso menjadi lebih tahan lama. Demi meraup
keuntungan, para pedagang menggunakan pengawet makanan yang harganya murah dan
mudah didapatkan di pasaran. Dan parahnya, ditemukan fakta bahwa banyak
pedagang yang menggunakan formalin yang notabene merupakan pengawet mayat
sebagai pengawet makanan, dalam hal ini adalah bakso.
Penulis
sempat menelusuri sebuah pasar tradisional di Kabupaten Magelang. Penulis
mengunjungi sebuah toko kelontong yang diduga memiliki bahan pengawet formalin.
Pada proses penelusuran tersebut dapat diketahui bahwa harga pasaran formalin
adalah sekitar Rp 7.000,- per liter. Harga tersebut merupakan harga yang cukup
murah untuk pengawet makanan. Sebagian besar yang membeli formalin adalah para
pedagang makanan konvensional seperti pedagang bakso, mie basah, dan tahu.
Sebagian besar pedagang ini berdalih bahwa mereka menggunakan formalin karena
harganya lebih murah dan makanan mereka menjadi sangat awet sehingga mereka
tidak akan mengalami kerugian jika dagangan mereka tidak laku. Mereka dapat
menyimpan dagangan mereka selama berhari-hari tanpa takut busuk. Entah pada
kenyataannya mereka mengetahui atau tidak tentang bahaya formalin yang dapat
menyebabkan kematian. Namun sekali lagi, perbuatan mereka itu merupakan
perbuatan yang amat merugikan orang banyak. Dan lagi-lagi faktor ekonomi
menjadi alasan utama mereka mereka melakukan hal tersebut.
Pernah
pada tanggal 13 Januari 2012 lalu terjadi kasus mengenai lima pedagang yang
berasal dari kota Magelang memasok daging bakso dan bakmi yang mengandung
formalin ke Kebumen. Uji laboratorium mendapati bahwa mie basah yang mereka
bawa positif mengandung formalin dan baksonya mengandung boraks. Mereka
memasok bakso yang dikemas dengan merek Lestari dan Abadi. Selain itu, memasok
bakso dan mie
basah tanpa diberi merek ke sejumlah pasar tradisional di Kebumen. Jika di
kemudian hari masih mengedarkan mi basah dan bakso yang mengandung bahan kimia
berbahaya, mereka akan langsung berhadapan dengan hukum yang berlaku.
Pengungkapan
kasus tersebut diawali dari laporan masyarakat serta hasil pemeriksaan rutin
yang dilakukan Disperindag. Untuk memastikan pemakaian bahan kimia berbahaya,
pihaknya melakukan uji laboratorium di Kebumen serta di Balai Besar Veteriner
yang ada di Wates Yogyakarta.
Dari
lima pemasok asal Magelang, diketahui ada lebih dari 400 kilogram mi basah dan
bakso yang setiap hari dipasok ke sejumlah pasar di Kebumen. Jumlah itu akan
meningkat drastis hingga mencapai 1,5 ton perhari di waktu-waktu tertentu,
terutama lebaran.
Karena
banyaknya isu mengenai formalin yang telah beredar di masyarakat, dan banyaknya
kasus yang telah terjadi (seperti kasus di atas misalnya), masyarakat pun
menjadi merasa ketakutan dengan makanan konvensional yang beredar di
masyarakat. Bagi mereka yang benar-benar ketakutan, mereka akan memilih untuk
menghindari mengkonsumsi makanan konvensional tersebut, meskipun belum tentu
semua makanan konvensional berbahaya dan mengandung formalin. Namun, jalan
piker masyarakat telah mendoktrin bahwa makanan konvensional, terutama bakso
dan mie basah, sudah tidak aman lagi untuk dikonsumsi karena banyak mengandung
pengawet berbahaya yaitu formalin.
Jika
telah terjadi kasus semacam ini, maka pihak yang paling dirugikan adalah
pedagang jujur yang menggunakan pengawet alami, atau tidak menggunakan pengawet
sama sekali. Akibatnya, para pedagang ini akan rugi karena makanan mereka akan
cepat busuk karena tidak laku. Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah
para pedagang jujur tersebut akan mulai terpengaruh untuk menggunakan formalin
sebagai pengawet makanan agar makanan mereka awet dan tidak mengalami kerugian
besar.
Dari
penelusuran yang dilakukan oleh penulis, penulis memperoleh beberapa produk
yang menggunakan pengawet berbahaya formalin, dan akan dibandingkan dengan
produk yang tidak manggunakan pengawet berbahaya tersebut.
Dari
fenomena yang telah terjadi di masyarakat, dapat disimpulkan bahwa merebaknya
penggunaan formalin sebagai pengawet makanan disebabkan oleh kurangnya
kesadaran masyarakat mengenai pengawet berbahaya seperti formalin. Oleh karena
itu, penulis mencoba untuk menawarkan sebuah solusi untuk menanggulangi
terjadinya pencemaran makanan oleh pengawet berbahaya.
Penulis
menawarkan suatu bentuk pengawet makanan yang ramah lingkungan dan tidak
mengandung bahan berbahaya, yaitu kecombrang. Pengawet alami dengan menggunakan
kecombrang ini sudah digunakan masyarakat tradisional sejak dulu dalam berbagai
macam olahan pangan. Namun mirisnya sepertinya tanaman kecombrang ini kalah
pamor jika dibandingkan dengan formalin. Bila masyarakat sekarang ditanya
mengenai kecombrang, mungkin jawabannya adalah tidak tahu.
Tanaman
kecombrang diketahui memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri E. Coli dan S.
Aureus. Banyak masyarakat yang
belum mengetahui tentang khasiat tanaman cantik ini. Untuk itu, perlu dibuat
suatu produk ekstrak kecombrang yang mudah ditemukan di pasaran.
Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto, ternyata ekstrak kecombrang bisa dijadikan pengawet
makanan alami. Beberapa makanan yang bisa diawetkan menggunakan ekstrak
kecombrang di antaranya, tahu, bakso, siomay, mie basah, nughet dan masih
banyak lainnya. Pengawet ini cukup aman untuk dikonsumsi karena terbuat dari
bahan alami.
Mulanya
kecombrang dikeringkan dengan cabinet dryer bersuhu 50 derajat celcius selama
20 jam, setelah itu dilakukan penggilingan dan analisa. Ekstrak kecombrang yang
sudah dikeringkan menjadi bubuk kecombrang berwarna merah muda dan siap
digunakan sebagai pengawet makanan yang aman dikonsumsi.
Saat
ini, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto menjual hasil temuan
penelitiannya seharga Rp. 25.000,- dengan kemasan 50 gram. Meskipun mungkin
masih terbilang mahal, namun temuan ini merupakan terobosan baru dalam bidang
teknologi dan sangat bermanfaat untuk kedepannya. Ini merupakan salah satu
kekurangan dari pengawet alami ekstrak daun kecombrang ini. Namun ini
disebabkan karena temuan ini masih terbilang baru.
Penulis
menyarankan sebuah gagasan mengenai pengembangbiakan tanaman kecombrang di
seluruh daerah di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Saat ini kecombrang banyak
terdapat di Pulau Sumatera, sehingga masih sangat sulit untuk dapat memproduksi
ekstrak kecombrang dalam jumlah besar. Hal inilah yang menyebabkan harga dari
pengawet alami ekstrak daun kecombrang masih sangat mahal. Namun dengan
perkembangbiakan tanaman kecombrang di seluruh daerah di Indonesia, ekstrak
kecombrang akan lebih banyak diproduksi dan bisa dengan cepat didistribusikan
di pasaran di seluruh pelosok tanah air. Dengan begitu, harga dari ekstrak
kecombrang akan lebih murah. Selain itu, ekstrak kecombrang akan dapat
digunakan oleh masyarkat luas.
Sampai
saat ini penulis masih belum dapat menemukan mengenai perbandingan komposisi
zat pengawet dengan produk pangan. Namun, jika nantinya dilakukan penelitian
lebih lanjut, maka akan dapat diketahui mengenai perbandingan komposisi yang
tepat untuk pengawet alami tanaman kecombrang.
Bagaimanapun,
semuanya tergantung dari kesadaran masyarakat itu sendiri. Tanpa masyarakat
yang sadar akan kesehatan dan bahaya dari formalin, maka hal itu tidak akan
membuat masyarakat jera. Terlebih jika yang dijadikan alasan adalah masalah
ekonomi. Oleh karena itu, masyarakaat Indonesia seharusnya sadar akan bahaya
dari pengawet formalin dan mulai beralih menggunakan pengawet alami. Dalam hal
ini, ekstrak tanaman kecombrang.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari makalah yang telah
disusun oleh penulis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.
Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan No 722/1988, Peraturan Menteri Kesehatan No.
1168/Menkes/PER/X/1999, UU No 7/1996 tentang Pangan dan UU No 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Paisal 2007) formalin dilarang digunakan pada makanan.
2.
Telah
terdapat berbagai kasus mengenai formalin yang diproses oleh polisi. Salah
satunya adalah kasus mengenai pemasok bakso dan mie basah berformalin asal
Magelang.
3.
Tanaman
kecombrang memiliki aktivitas antioksidan dan ekstraknya dapat dibuat sebagai
pengawet makanan.
4.2 Saran
Dari
makalah yang telah penulis susun, penulis memiliki saran yang ditujukan kepada
masyarakat Indonesia pada umumnya dan para pedagang makanan konvensional pada
khususnya. Seharusnya para pedagang menyadari akan bahaya formalin bagi
kesehatan dan mulai beralih pada pengawet alami yang tidak berbahaya bagi
manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Anggraeni,
Dhenok. 2007. Aplikasi Ekstrak Bunga Kecombrang
(Nicolaia sp. horan) Sebagai Pengawet Mie Basah. Skripsi. ITB.
Sukandar,
Dede , dkk. 2010. Karakterisasi Senyawa
Aktif Antibakteri Ekstrak Air Bunga Kecombrang (Etlingera elatior) Sebagai
Bahan Pangan Fungsional. 1:333-339.
http://id.wikipedia.org/wiki/Formaldehida
Tidak ada komentar:
Posting Komentar