Rabu, 14 November 2012

PENGAWET ALAMI EKSTRAK DAUN KECOMBRANG SEBAGAI PENGGANTI FORMALIN PADA MAKANAN KONVENSIONAL


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar  Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan produk kuliner. Dari Sabang sampai Merauke dapat dengan mudah kita temukan beragam jenis masakan yang dapat memanjakan lidah para penikmatnya. Tidak hanya makanan buatan manusia saja, tapi juga produk buatan pabrik. Kita tentu sangat mengenal produk makanan seperti mie instan, sarden, noughat, dan produk lainnya. Makanan produksi pabrik tersebut bisa bertahan sangat lama di supermarket, bahkan bisa samai beberapa tahun. Tentu saja alasannya adalah makanan tersebut telah diberi pengawet yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada makanan tersebut sehingga makanan tersebut dapat bertahan lebih lama. Zat pengawet makanan yang terdapat pada makanan produksi pabrik tersebut tentu saja aman dikonsumsi selama belum mencapai tanggal kadaluwarsa. Hal tersebut dikarenakan makanan keluaran pabrik tentu saj sudah lolos uji dari departemen kesehatan. Lalu bagaimana dengan nasib makanan konvensional?
Makanan konvensional seperti bakso, tahu, mie, gorengan, dan makanan lainnya merupakan makanan yang sangat banyak dikonsumsi oleh penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah penduduk desa. Makanan tersebut tentu tidak dapat bertahan lama seperti makanan-makanan pabrik. Makanan konvensional sama sekali tidak menggunakan pengawet makanan seperti yang digunakan oleh pabrik. Hal tersebut dapat menyebabkan para pedagang makanan menjadi sangat rugi terutama apabila makanannya tidak habis terjual.
Pada akhirnya hal tersebut dijadikan kesempatan oleh para pedagang “nakal” untuk membuat sebuah pengalaman usaha. Banyak kita lihat di beberapa acara investigasi berita di televisi bahwa ternyata banyak pedagang nakal yang menggunakan zat pengawet berbahaya untuk membuat makanan yang mereka jual menjadi lebih lama. Tentu hal ini tidak membuat para pedagang merugi karena zat pengawet yang mereka gunakan memiliki harga yang sangat murah dan sangat mudah ditemukan di pasaran. Jenis bahan pengawet makanan berbahaya yang banyak beredar di pasaran dan banyak digunakan oleh para pedagang makanan “nakal” adalah formalin. Entah para pedagang itu tahu atau tidak mengenai bahaya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi makanan yang mengandung formalin. Para pedagang hanya memikirkan keuntungan yang mereka peroleh. Seperti orang Indonesia pada umumnya, mereka berpikiran bagaimana untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan modal yang angat sedikit.
Salah satu keuntungan para pedagang “nakal” itu adalah tidak adanya uji makanan konvensional. Makanan konvensional terdapat dalam jumlah besar di masyarakat dan siapapun dapat dengan mudah membuatnya. Sehingga sangat tidak mungkin bagi departemen kesehatan untuk menguji satu persatu makanan yang telah  beredar luas di masyarakat tanpa terkendali.
Satu hal yang membuat miris dalam fenomena ini adalah banyak konsumen yang tidak mengetahui bahwa ternyata makanan yang mereka makan sangat berbahaya bagi mereka. Bisa juga mereka tahu bahwa makanan yang mereka konsumsi mengandung zat yang berbahaya bagi mereka. Yang mereka pedulikan adalah bahwa mereka lapar dan sangat menyukai makanan itu dan mereka ingin memakannya. Kurangnya pengetahuan dari masyarakat mengenai makanan yang mengandung formalin mendatangkan keuntungan tersendiri bagi para pedagang makanan karena aksi mereka tidak tercium dan otomatis mereka akan tetap mendapatkan keuntungan.
Mungkin yang perlu dibenahi adalah para pedagang “nakal”. Mereka perlu diberi pengertian untuk mengganti zat pengawet yang mereka gunakan dengan bahan lain yang lebih sehat dan tidak membahayakan manusia. Mungkin disini terkesan bahwa formalin merupakan zat pengawet makanan yang sudah ada sejak dulu dan diterima di masyarakat dan akan diganti dengan bahan lain. Namun kita melihat dari konteks bahwa formalin merupakan bahan berbahaya yang sudah meluas di pasaran dan harus diganti dengan bahan lain yang lebih sehat.
Di Indonesia terdapat beraneka jenis tanaman yang memiliki beragam manfaat, salah satunya adalah sebagai pengawet makanan. Para pedagang mungkin tidak mengetahui mengenai hal ini, atau mereka mengetahui namun mereka menganggap bahwa menggunakan tanaman sebagai bahan pengawet lebih rumit dan sangat sulit. Sehingga mereka lebih memilih menggunakan formalin yang lebih praktis dan mudah untuk digunakan.
Berangkat dari fenomena yang terjadi di masyarakat tersebut, maka penulis mencoba untuk menawarkan sebuah solusi. Melalui makalah ini, penulis ingin memberikan sebuah solusi mengenai zat pengawet makanan yang alami dan sehat untuk dikonsumsi. Penulis akan menawarkan kecombrang sebagai pengawet makanan alami dan akan membahas lebih lanjut mengenai tanaman kecombrang.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa sajakah dampak negatif penggunaan formalin pada makanan terhadap kesehatan manusia?
1.2.2        Bagaimana cara membedakan makanan yang mengandung formalin dengan makanan yang tidak mengandung formalin?
1.2.3        Apa sajakah kandungan dari tanaman kecombrang?
1.2.4        Apa sajakah kegunaan dari tanaman kecombrang?
1.2.5        Apa sajakah keuntungan dari menggunakan kecombrang sebagai pengawet makanan alami?

1.3  Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1        Untuk mengetahui efek negatif dari penggunaan formalin sebagai pengawet makanan terhadap kesehatan manusia.
1.3.2        Untuk mengetahui perbedaan antara makanan yang mengandung formalin dengan makanan yang bebas dari formalin.
1.3.3        Untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam tanaman kecombrang.
1.3.4        Untuk mengetahui berbagai macam kegunaan dari tanaman kecombrang.
1.3.5        Untuk mengetahui keuntungan dari menggunakan kecombrang sebagai pengawet alami.

1.4  Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.4.1        Pembaca dapat mengetahui efek negatif dari penggunaan formalin sebagai pengawet makanan terhadap kesehatan manusia.
1.4.2        Pembaca dapat membedakan ciri-ciri makanan yang mengandung formalin dengan makanan yang tidak mengandung formalin sehingga pembaca dapat lebih berhati-hati dalam memilih makanan mana saja yang boleh dikonsumsi dan makanan mana yang tidak boleh dikonsumsi.
1.4.3        Pembaca dapat mengetahui alternatif lain yang bisa digunakan sebagai pengawet makanan alami yang tidak membahayakan kesehatan, misalnya tanaman kecombrang.
1.4.4        Pembaca dapat mengetahui kandungan yang terdapat dalam tanaman kecombrang sehingga tanaman tersebut layak digunakan sebagai pengawet makanan alami.
1.4.5        Pembaca dapat mengetahui berbagai kegunaan dari tanaman kecombrang.
1.4.6        Pembaca dapat mengetahui berbagai keuntungan yang bisa diperoleh dari menggunakan tanaman kecombrang sebagai pengawet makanan.


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Formalin (Formaldehide)
Senyawa kimia formaldehida (juga disebut metanal, atau formalin), merupakan aldehida dengan rumus kimia H2CO, yang berbentuknya gas, atau cair yang dikenal sebagai formalin, atau padatan yang dikenal sebagai paraformaldehyde atau trioxane. Formaldehida awalnya disintesis oleh kimiawan Rusia Aleksandr Butlerov tahun 1859, tapi diidentifikasi oleh Hoffman tahun 1867.
Pada umumnya, formaldehida terbentuk akibat reasi oksidasi katalitik pada metanol. Oleh sebab itu, formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran bahan yang mengandung karbon dan terkandung dalam asap pada kebakaran hutan, knalpot mobil, dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi, formaldehida dihasilkan dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana dan hidrokarbon lain yang ada di atmosfer. Formaldehida dalam kadar kecil sekali juga dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan organisme, termasuk manusia.
Meskipun dalam udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas, tetapi bisa larut dalam air (biasanya dijual dalam kadar larutan 37% menggunakan merk dagang 'formalin' atau 'formol' ). Dalam air, formaldehida mengalami polimerisasi dan sedikit sekali yang ada dalam bentuk monomer H2CO. Umumnya, larutan ini mengandung beberapa persen metanol untuk membatasi polimerisasinya. Formalin adalah larutan formaldehida dalam air, dengan kadar antara 10%-40%.

Sifat Formalin
Meskipun formaldehida menampilkan sifat kimiawi seperti pada umumnya aldehida, senyawa ini lebih reaktif daripada aldehida lainnya. Formaldehida merupakan elektrofil, bisa dipakai dalam reaksi substitusi aromatik elektrofilik dan sanyawa aromatik serta bisa mengalami reaksi adisi elektrofilik dan alkena. Dalam keberadaan katalis basa, formaldehida bisa mengalami reaksi Cannizzaro, menghasilkan asam format dan metanol.
Formaldehida bisa membentuk trimer siklik, 1,3,5-trioksana atau polimer linier polioksimetilena. Formasi zat ini menjadikan sifat-sifat gas formaldehida berbeda dari sifat gas ideal, terutama pada tekanan tinggi atau udara dingin.
Formaldehida bisa dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi asam format, karena itu larutan formaldehida harus ditutup serta diisolasi supaya tidak kemasukan udara.


Produksi Formalin
Secara industri, formaldehida dibuat dari oksidasi katalitik metanol. Katalis yang paling sering dipakai adalah logam perak atau campuran oksida besi dan molibdenum serta vanadium. Dalam sistem oksida besi yang lebih sering dipakai (proses Formox), reaksi metanol dan oksigen terjadi pada 250 °C dan menghasilkan formaldehida, berdasarkan persamaan kimia
2 CH3OH + O2 → 2 H2CO + 2 H2O.
Katalis yang menggunakan perak biasanya dijalankan dalam temperatur yang lebih tinggi, kira-kira 650 °C. dalam keadaan ini, akan ada dua reaksi kimia sekaligus yang menghasilkan formaldehida: satu seperti yang di atas, sedangkan satu lagi adalah reaksi dehidrogenasi
CH3OH → H2CO + H2.
Bila formaldehida ini dioksidasi kembali, akan menghasilkan asam format yang sering ada dalam larutan formaldehida dalam kadar ppm.
Di dalam skala yang lebih kecil, formalin bisa juga dihasilkan dari konversi etanol, yang secara komersial tidak menguntungkan.

Kegunaan Formalin
Formaldehida dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar bakteri, sehingga sering digunakan sebagai disinfektan dan juga sebagai bahan pengawet. Sebagai disinfektan, Formaldehida dikenal juga dengan nama formalin dan dimanfaatkan sebagai pembersih; lantai, kapal, gudang dan pakaian.
Formaldehida juga dipakai sebagai pengawet dalam vaksinasi. Dalam bidang medis, larutan formaldehida dipakai untuk mengeringkan kulit, misalnya mengangkat kutil. Larutan dari formaldehida sering dipakai dalam membalsem untuk mematikan bakteri serta untuk sementara mengawetkan bangkai.
Dalam industri, formaldehida kebanyakan dipakai dalam produksi polimer dan rupa-rupa bahan kimia. Jika digabungkan dengan fenol, urea, atau melamina, formaldehida menghasilkan resin termoset yang keras. Resin ini dipakai untuk lem permanen, misalnya yang dipakai untuk kayulapis/tripleks atau karpet. Juga dalam bentuk busa-nya sebagai insulasi. Lebih dari 50% produksi formaldehida dihabiskan untuk produksi resin formaldehida.
Untuk mensintesis bahan-bahan kimia, formaldehida dipakai untuk produksi alkohol polifungsional seperti pentaeritritol, yang dipakai untuk membuat cat bahan peledak. Turunan formaldehida yang lain adalah metilena difenil diisosianat, komponen penting dalam cat dan busa poliuretana, serta heksametilena tetramina, yang dipakai dalam resin fenol-formaldehida untuk membuat RDX (bahan peledak).
Sebagai formalin, larutan senyawa kimia ini sering digunakan sebagai insektisida serta bahan baku pabrik-pabrik resin plastik dan bahan peledak.
Berikut ini merupakan daftar beberapa kegunaan dari formalin.

Ciri-Ciri Makanan Berformalin
Melalui sejumlah survei dan pemeriksaan laboratorium, ditemukan sejumlah produk pangan yang menggunakan formalin sebagai pengawet. Praktek yang salah seperti ini dilakukan oleh produsen atau pengelola pangan yang tidak bertanggung jawab. Beberapa contoh produk yang sering diketahui mengandung formalin, misalnya tahu, bakso, ayam, ikan, dan lain sebagainya. Beriku ini merupakan ciri-ciri dari berbagai makanan berformalin yang membedakannya dari makanan tak berformalin.
1.      Ciri-ciri mie basah berformalin: tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar (25 derajat celcius) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10 derajat celsius). Tidak lengket dan mie lebih mengkilap dibandingkan mie normal. Bau agak menyengat seperti bau formalin.
2.      Ciri-ciri tahu berformalin: Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar 25 derajat Celsius dan bisa tahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10 derajat celsius). Tahu terlampau keras, kenyal namun tidak padat. Bau agak menyengat.
3.      Ciri-ciri ikan segar atau hasil laut berformalin: tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25 derajat C). Warna insang merah tua tidak cemerlang, bukan merah segar dan warna daging ikan putih bersih. Bau formalin atau agak menyengat.
4.      Ciri-ciri ikan asin berformalin: tidak rusak sampai lebih dari 1 bulan pada suhu 25 derajat celsius. Bersih cerah dan tidak berbau khas ikan asin. Tidak dihinggapi lalat di area berlalat.
5.      Ciri-ciri baso berformalin: Tidak rusak sampai 2 hari pada suhu kamar 25 derajat celsius, teksturnya sangat kenyal dan bau formalin agak menyengat.
6.      Ciri-ciri ayam berformalin: Tidak rusak sampai 2 hari pada suhu kamar 25 derajat Celsius, teksturnya kencang dan bau formalin tercium.

Efek Bagi Tubuh
Karena resin formaldehida dipakai dalam bahan konstruksi seperti kayu lapis/tripleks, karpet, dan busa semprot dan isolasi, serta karena resin ini melepaskan formaldehida pelan-pelan, formaldehida merupakan salah satu polutan dalam ruangan yang sering ditemukan. Apabila kadar di udara lebih dari 0,1 mg/kg, formaldehida yang terhisap bisa menyebabkan iritasi kepala dan membran mukosa, yang menyebabkan keluarnya air mata, pusing, teggorokan serasa terbakar, serta kegerahan.
Jika terpapar formaldehida dalam jumlah banyak, misalnya terminum, bisa menyebabkan kematian. Dalam tubuh manusia, formaldehida dikonversi menjadi asam format yang meningkatkan keasaman darah, tarikan napas menjadi pendek dan sering, hipotermia, juga koma, atau sampai kepada kematiannya.
Di dalam tubuh, formaldehida bisa menimbulkan terikatnya DNA oleh protein, sehingga mengganggu ekspresi genetik yang normal. Binatang percobaan yang menghisap formaldehida terus-terusan terserang kanker dalam hidung dan tenggorokannya, sama juga dengan yang dialami oleh para pegawai pemotongan papan artikel. Tapi, ada studi yang menunjukkan apabila formaldehida dalam kadar yang lebih sedikit, seperti yang digunakan dalam bangunan, tidak menimbulkan pengaruh karsinogenik terhadap makhluk hidup yang terpapar zat tersebut.

Pertolongan Pertama Akibat Keracunan Formalin
Pertolongan tergantung pada konsentrasi cairan dan gejala yang dialami korban. Sebelum ke rumah sakit, berikan arang aktif (norit) bila tersedia. Jangan melakukan rangsangan agar korban muntah, karena akan menimbulkan risiko trauma korosif pada saluran cerna atas. Di rumah sakit biasanya tim medis akan melakukan bilas lambung (gastric lavage), memberikan arang aktif (walaupun pemberian arang aktif akan mengganggu penglihatan pada saat endoskopi). Endoskopi adalah tindakan untuk mendiagnosis terjadinya trauma esofagus dan saluran cerna. Untuk meningkatkan eliminasi formalin dari tubuh dapat dilakukan hemodialisis (cuci darah). Tindakan ini diperlukan bila korban menunjukkan tanda-tanda asidosis metabolik berat.

Nilai Ambang Batas Penggunaan Formalin
Sebenarnya batas toleransi Formaldehida (formalin adalah nama dagang zat ini) yang dapat diterima tubuh manusia dengan aman adalah dalam bentuk air minum, menurut International Programme on Chemical Safety(IPCS), adalah 0,1 mg per liter atau dalam satu hari asupan yang dibolehkan adalah 0,2 mg. Sementara formalin yang boleh masuk ke tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari. Berdasarkan standar Eropa, kandungan formalin yang masuk dalam tubuh tidak boleh melebihi 660 ppm (1000 ppm setara 1 mg/liter). Sementara itu, berdasarkan hasil uji klinis, dosis toleransi tubuh manusia pada pemakaian secara terus-menerus (Recommended Dietary Daily Allowances/RDDA) untuk formalin sebesar 0,2 miligram per kilogram berat badan. Misalnya berat badan seseorang 50 kilogram, maka tubuh orang tersebut masih bisa mentoleransi sebesar 50 dikali 0,2 yaitu 10 miligram formalin secara terus-menerus. Sedangkan standar United State Environmental Protection Agency/USEPA untuk batas toleransi formalin di udara, tercatat sebatas 0.016 ppm. Sedangkan untuk pasta gigi dan produk shampo menurut peraturan pemerintah di negara-negara Uni Eropa (EU Cosmetic Directive) dan ASEAN (ASEAN Cosmetic Directive) memperbolehkan penggunaan formaldehida di dalam pasta gigi sebesar 0.1 % dan untuk produk shampoo dan sabun masing-masing sebesar 0.2 %. Peraturan ini sejalan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan makanan (BPOM) di Indonesia (Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat & Makanan RI No HK.00.05.4.1745, Lampiran III “Daftar zat pengawet yang diizinkan digunakan dalam Kosmetik dengan persyaratan…” no 38 : Formaldehid dan paraformaldehid) (Fahruddin 2007)
Walaupun daya awetnya sangat luar biasa, formalin dilarang digunakan pada makanan. Di Indonesia, beberapa undang-undang yang melarang penggunaan formalin sebagai pengawet makanan adalah Peraturan Menteri Kesehatan No 722/1988, Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/Menkes/PER/X/1999, UU No 7/1996 tentang Pangan dan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (Paisal 2007).

2.2 Kecombrang
 Tumbuhan kecombrang (Etlingera eliator) merupakan tumbuhan yang tersebar cukup luas di Indonesia. Penggunaan Etlingera eliator sebagai bahan obat sangat banyak ragamnya. Tumbuhan ini digunakan sebagai bahan pangan dan juga dapat digunakan untuk pengobatan (Antoro, 1995).
Kecombrang termasuk dalam divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas monocotyledone, bangsa zingiberales, suku 5 zingiberaceae, marga Nicolaia, dan jenis Nicolaia speciosa Horan.
Kecombrang, kantan, atau honje (Etlingera elatior) adalah sejenis tumbuhan rempah dan merupakan tumbuhan tahunan berbentuk terna yang bunga, buah, serta bijinya dimanfaatkan sebagai bahan sayuran. Nama lainnya adalah kincung (Medan), kincuang dan sambuang (Minangkabau) serta siantan (Malaya). Orang Thai menyebutnya kaalaa.

Ciri-ciri batang, daun, dan bunga
Honje berwarna kemerahan seperti jenis tanaman hias pisang-pisangan. Jika batangnya sudah tua, bentuk tanamannya mirip jahe atau lengkuas, dengan tinggi mencapai 5 m.
Batang-batang semu bulat gilig, membesar di pangkalnya; tumbuh tegak dan banyak, berdekat-dekatan, membentuk rumpun jarang, keluar dari rimpang yang menjalar di bawah tanah. Rimpangnya tebal, berwarna krem, kemerah-jambuan ketika masih muda. Daun 15-30 helai tersusun dalam dua baris, berseling, di batang semu; helaian daun jorong lonjong, 20-90 cm × 10-20 cm, dengan pangkal membulat atau bentuk jantung, tepi bergelombang, dan ujung meruncing pendek, gundul namun dengan bintik-bintik halus dan rapat, hijau mengkilap, sering dengan sisi bawah yang keunguan ketika muda.
Bunga dalam karangan berbentuk gasing, bertangkai panjang 0,5-2,5 m × 1,5-2,5 cm, dengan daun pelindung bentuk jorong, 7-18 cm × 1-7 cm, merah jambu hingga merah terang, berdaging, melengkung membalik jika mekar. Kelopak bentuk tabung, panjang 3-3,5 cm, bertaju 3, terbelah. Mahkota bentuk tabung, merah jambu, hingga 4 cm. Labellum serupa sudip, sekitar 4 cm panjangnya, merah terang dengan tepian putih atau kuning.
Buah berjejalan dalam bongkol hampir bulat berdiameter 10-20 cm; masing-masing butir 2-2,5 cm besarnya, berambut halus pendek di luarnya, hijau dan menjadi merah ketika masak. Berbiji banyak, coklat kehitaman, diselubungi salut biji (arilus) putih bening atau kemerahan yang berasa masam.

Manfaat
Kecombrang atau bunga honje terutama dijadikan bahan campuran atau bumbu penyedap berbagai macam masakan di Nusantara. Kuntum bunga ini sering dijadikan lalap atau direbus lalu dimakan bersama sambal di Jawa Barat. Kecombrang yang dikukus juga kerap dijadikan bagian dari pecel di daerah Banyumas. Di Pekalongan, kecombrang yang diiris halus dijadikan campuran pembuatanmegana, sejenis urap berbahan dasar nangka muda. Di Malaysia dan Singapura, kecombrang menjadi unsur penting dalam masakan laksa.
Di Tanah Karo, buah honje muda disebut asam cekala. Kuncup bunga serta "polong"nya menjadi bagian pokok dari sayur asam Karo; juga menjadi peredam bau amis sewaktu memasak ikan. Masakan Batak populer, arsik ikan mas, juga menggunakan asam cekala ini. DiPalabuhanratu, buah dan bagian dalam pucuk honje sering digunakan sebagai campuran sambal untuk menikmati ikan laut bakar.
Honje nama lain kecombrang juga dapat dimanfaatkan sebagai sabun dengan dua cara: mengosokkan langsung batang pohon honje ke tubuh dan wajah atau dengan mememarkan pelepah batang daun honje hingga keluar busa yang harum yang dapat langsung digunakan sebagai sabun. Tumbuhan ini juga dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit yang berhubungan dengan kulit, termasuk campak. Bunga pokok ini yang berwarna merah muda banyak digunakan sebagai gubahan hiasan manakala tunas bunga ini dijadikan bahan memasak dalam masakan Melayu seperti laksa. Tumbuhan ini mengandungi banyak bahan antioksidan yang amat baik untuk kesehatan (Infotek, 2009).
Penelitian yang telah dilakukan pada rimpang lengkuas (A. galanga) yang termasuk satu famili dengan kecombrang telah membuktikan bahwa senyawa fenolik, flavonoid, minyak atsiri, terpena, asam organik tanaman, asam lemak, ester asam lemak tertentu, dan alkaloid tanaman ini mempunyai aktivitas antimikroba (Haraguchi et al., 1998). Berdasarkan penelitian, kecombrang bermanfaat sebagai antimikroba. Antimikroba adalah bahan yang bisa mencegah pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir pada makanan. Hal ini telah menunjukkan bahwa ekstrak bunga kecombang dari etil asetat dan etanol yang telah mampu menghambat 7 pertumbuhan jenis bakteri yaitu Stapyllocaccus aures, L.monocytogenes, Bacillus cereus, S. Typhimurium, E Coli, A Hydrophila dan P aeruginosa. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antibakteri bunga kecombrang antara lain pH, NaCl (garam), dan pemanasan. Pada pH asam aktivitas anti bakteri bunga kecombrang lebih ampuh dibanding pH basa (8-9). Penambahan NaCl dalam jumlah tertentu akan meningkatkan aktivitas antibakterinya. Meskipun dipanaskan pada suhu 100ºC sampai 30 menit, antibakteri pada kecombrang masih aktif. Bunga kecombrang mungkin dapat digunakan sebagi pengawet alami untuk makanan tetapi masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut (Naufalin, 2005).
Adapun kompisisi kimia kecombrang adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Kecombrang

Kecombrang
Nilai nurtrisi per 100 g (3.5 oz)
0 kJ (0 kcal)
4.4 g
1.2 g
1.0 g
1.3 g
91 g
32 mg (3%)
4 mg (32%)
27 mg (7%)
30 mg (4%)
541 mg (12%)
0.1 mg (1%)
Persentase merujuk kepada rekomendasi Amerika Serikat untuk dewasa.

Komponen bioaktif pada ekstrak kecombrang berbeda-beda sesuai dengan polaritasnya. Komponen fitokimia ekstrak heksana terdiri dari steroid, triterpenoid, alkaloid, dan glukosida. Komponen fitokimia ekstrak etil asetat adalah steroid, terpenoid, alkaloid, flavonoid, dan glikosida. Sedangkan ekstrak etanol menghasilkan komponen fenolik, terpenoid, alkaloid, saponin, dan glikosida. Rendemen ekstrak yang diperoleh sangat rendah yaitu 2,9% untuk ekstrak etanol, 2,4% untuk ekstrak etil asetat, dan 9,1% untuk ekstrak heksana. Rendemen ekstrak dihitung sebagai % (v/b) pada setiap ml ekstrak/100 gram bubuk kecombrang (Naufalin, 2005).

Tanaman Kecombrang sebagai Pengawet Alami
Salah satu tanaman sumber antioksidan alami adalah tanaman kecombrang. Kandungan fitokimia bunga, batang, rimpang dan daun kecombrang hasil penelitian Naufalin (2005) diperoleh senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida yang berperan aktif sebagai antioksidan. Menurut Antoro (1995), pada rimpang ditemukan senyawa alkaloid, flavonoid dan minyak atsiri yang bertindak sebagai antioksidan. Tampubolon et al. (1983) menyebutkan bahwa kecombrang mengandung senyawa bioaktif seperti polifenol, alkaloid, flavonoid, steroid, saponin dan minyak atsiri yang diduga memiliki potensi sebagai antioksidan.
Penggunaan pengawet alami tanaman kecombrang telah lama digunakan masyarakat secara tradisional pada berbagai macam olahan pangan. Namun demikian, pada skala industri tentunya penggunaan bunga, batang dan bagian kecombrang lainnya dinilai kurang praktis. Oleh karena itu, perlu dilakukan ekstraksi tanaman kecombrang untuk mendapatkan komponen bioaktifnya. Menurut Houghton dan Raman (1998), pengawet alami dari tanaman dapat diperoleh dengan cara ekstraksi dengan pelarut yaitu dengan cara mempertemukan bahan yang akan diekstrak dengan pelarut organik selama waktu tertentu, diikuti pemisahan filtrat dari residu bahan yang diekstrak.
Pemanfaatan senyawa antioksidan alami dalam bentuk ekstrak memiliki beberapa kekurangan, antara lain tingginya kemungkinan kehilangan komponen volatil dalam proses pengolahan dengan suhu tinggi, mudah teroksidasi, dan tidak mudah terdispersi dalam bahan kering dan bentuknya yang sulit ditangani (Koswara, 2007). Cara untuk mengatasi kekurangan tersebut adalah dengan mencampur ekstrak tanaman dengan bahan penstabil menjadi formula.
Penelitian ini menggunakan formula ekstrak kecombrang yang merupakan campuran ekstrak buah, batang, bunga dan rimpang kecombrang dengan dekstrin, gelatin, Tween 80 dan NaCl pada perbandingan tertentu. Komposisi formula ekstrak kecombrang yang digunakan adalah formula ekstrak kecombrang yang telah lolos uji sifat antimikroba hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Istiqomah (2011). Menurut Haraguchi et al. (1998) senyawa antimikroba seperti fenolik, flavonoid, minyak atsiri, terpena, asam organik tanaman, asam lemak, ester asam lemak tertentu dan alkaloid juga memilki aktivitas antioksidan.
Selain itu, identifikasi senyawa-senyawa yang berperan aktif sebagai antioksidan juga perlu dilakukan. Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu cara untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponen-komponennya sehingga mem-bentuk pola kromatografis yang berbeda pada masing-masing sampel ekstrak kecombrang yang diuji.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kenyataan di Lapangan
Dewasa ini, sangat sering kita temukan para pedagang makanan konvensional seperti bakso misalnya. Mulai dari pedagang bakso jalanan sampai para pemilik warung bakso. Sang konsumen pun tidak pernah berpikir panjang untuk menyantap makanan tersebut, asal mereka suka. Padahal belum tentu makanan yang mereka konsumsi itu aman-aman saja. Kenyataannya, banyak para pedagang yang melakukan kecurangan terhadap makanan tersebut. Dengan alasan bahwa bakso itu terbuat dari daging dan daging merupakan makanan yang tidak tahan lama, maka para pedagang menggunakan pengawet untuk membuat bakso menjadi lebih tahan lama. Demi meraup keuntungan, para pedagang menggunakan pengawet makanan yang harganya murah dan mudah didapatkan di pasaran. Dan parahnya, ditemukan fakta bahwa banyak pedagang yang menggunakan formalin yang notabene merupakan pengawet mayat sebagai pengawet makanan, dalam hal ini adalah bakso.
Penulis sempat menelusuri sebuah pasar tradisional di Kabupaten Magelang. Penulis mengunjungi sebuah toko kelontong yang diduga memiliki bahan pengawet formalin. Pada proses penelusuran tersebut dapat diketahui bahwa harga pasaran formalin adalah sekitar Rp 7.000,- per liter. Harga tersebut merupakan harga yang cukup murah untuk pengawet makanan. Sebagian besar yang membeli formalin adalah para pedagang makanan konvensional seperti pedagang bakso, mie basah, dan tahu. Sebagian besar pedagang ini berdalih bahwa mereka menggunakan formalin karena harganya lebih murah dan makanan mereka menjadi sangat awet sehingga mereka tidak akan mengalami kerugian jika dagangan mereka tidak laku. Mereka dapat menyimpan dagangan mereka selama berhari-hari tanpa takut busuk. Entah pada kenyataannya mereka mengetahui atau tidak tentang bahaya formalin yang dapat menyebabkan kematian. Namun sekali lagi, perbuatan mereka itu merupakan perbuatan yang amat merugikan orang banyak. Dan lagi-lagi faktor ekonomi menjadi alasan utama mereka mereka melakukan hal tersebut.
Pernah pada tanggal 13 Januari 2012 lalu terjadi kasus mengenai lima pedagang yang berasal dari kota Magelang memasok daging bakso dan bakmi yang mengandung formalin ke Kebumen. Uji laboratorium mendapati bahwa mie basah yang mereka bawa positif mengandung formalin dan baksonya mengandung boraks. Mereka memasok bakso yang dikemas dengan merek Lestari dan Abadi. Selain itu, memasok bakso dan mie basah tanpa diberi merek ke sejumlah pasar tradisional di Kebumen. Jika di kemudian hari masih mengedarkan mi basah dan bakso yang mengandung bahan kimia berbahaya, mereka akan langsung berhadapan dengan hukum yang berlaku.
Pengungkapan kasus tersebut diawali dari laporan masyarakat serta hasil pemeriksaan rutin yang dilakukan Disperindag. Untuk memastikan pemakaian bahan kimia berbahaya, pihaknya melakukan uji laboratorium di Kebumen serta di Balai Besar Veteriner yang ada di Wates Yogyakarta.
Dari lima pemasok asal Magelang, diketahui ada lebih dari 400 kilogram mi basah dan bakso yang setiap hari dipasok ke sejumlah pasar di Kebumen. Jumlah itu akan meningkat drastis hingga mencapai 1,5 ton perhari di waktu-waktu tertentu, terutama lebaran.
Karena banyaknya isu mengenai formalin yang telah beredar di masyarakat, dan banyaknya kasus yang telah terjadi (seperti kasus di atas misalnya), masyarakat pun menjadi merasa ketakutan dengan makanan konvensional yang beredar di masyarakat. Bagi mereka yang benar-benar ketakutan, mereka akan memilih untuk menghindari mengkonsumsi makanan konvensional tersebut, meskipun belum tentu semua makanan konvensional berbahaya dan mengandung formalin. Namun, jalan piker masyarakat telah mendoktrin bahwa makanan konvensional, terutama bakso dan mie basah, sudah tidak aman lagi untuk dikonsumsi karena banyak mengandung pengawet berbahaya yaitu formalin.
Jika telah terjadi kasus semacam ini, maka pihak yang paling dirugikan adalah pedagang jujur yang menggunakan pengawet alami, atau tidak menggunakan pengawet sama sekali. Akibatnya, para pedagang ini akan rugi karena makanan mereka akan cepat busuk karena tidak laku. Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah para pedagang jujur tersebut akan mulai terpengaruh untuk menggunakan formalin sebagai pengawet makanan agar makanan mereka awet dan tidak mengalami kerugian besar.
Dari penelusuran yang dilakukan oleh penulis, penulis memperoleh beberapa produk yang menggunakan pengawet berbahaya formalin, dan akan dibandingkan dengan produk yang tidak manggunakan pengawet berbahaya tersebut.


   3.2 Solusi
Dari fenomena yang telah terjadi di masyarakat, dapat disimpulkan bahwa merebaknya penggunaan formalin sebagai pengawet makanan disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat mengenai pengawet berbahaya seperti formalin. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menawarkan sebuah solusi untuk menanggulangi terjadinya pencemaran makanan oleh pengawet berbahaya.
Penulis menawarkan suatu bentuk pengawet makanan yang ramah lingkungan dan tidak mengandung bahan berbahaya, yaitu kecombrang. Pengawet alami dengan menggunakan kecombrang ini sudah digunakan masyarakat tradisional sejak dulu dalam berbagai macam olahan pangan. Namun mirisnya sepertinya tanaman kecombrang ini kalah pamor jika dibandingkan dengan formalin. Bila masyarakat sekarang ditanya mengenai kecombrang, mungkin jawabannya adalah tidak tahu.
Tanaman kecombrang diketahui memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri E. Coli dan S. Aureus. Banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang khasiat tanaman cantik ini. Untuk itu, perlu dibuat suatu produk ekstrak kecombrang yang mudah ditemukan di pasaran.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, ternyata ekstrak kecombrang bisa dijadikan pengawet makanan alami. Beberapa makanan yang bisa diawetkan menggunakan ekstrak kecombrang di antaranya, tahu, bakso, siomay, mie basah, nughet dan masih banyak lainnya. Pengawet ini cukup aman untuk dikonsumsi karena terbuat dari bahan alami.
Mulanya kecombrang dikeringkan dengan cabinet dryer bersuhu 50 derajat celcius selama 20 jam, setelah itu dilakukan penggilingan dan analisa. Ekstrak kecombrang yang sudah dikeringkan menjadi bubuk kecombrang berwarna merah muda dan siap digunakan sebagai pengawet makanan yang aman dikonsumsi.
Saat ini, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto menjual hasil temuan penelitiannya seharga Rp. 25.000,- dengan kemasan 50 gram. Meskipun mungkin masih terbilang mahal, namun temuan ini merupakan terobosan baru dalam bidang teknologi dan sangat bermanfaat untuk kedepannya. Ini merupakan salah satu kekurangan dari pengawet alami ekstrak daun kecombrang ini. Namun ini disebabkan karena temuan ini masih terbilang baru.
Penulis menyarankan sebuah gagasan mengenai pengembangbiakan tanaman kecombrang di seluruh daerah di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Saat ini kecombrang banyak terdapat di Pulau Sumatera, sehingga masih sangat sulit untuk dapat memproduksi ekstrak kecombrang dalam jumlah besar. Hal inilah yang menyebabkan harga dari pengawet alami ekstrak daun kecombrang masih sangat mahal. Namun dengan perkembangbiakan tanaman kecombrang di seluruh daerah di Indonesia, ekstrak kecombrang akan lebih banyak diproduksi dan bisa dengan cepat didistribusikan di pasaran di seluruh pelosok tanah air. Dengan begitu, harga dari ekstrak kecombrang akan lebih murah. Selain itu, ekstrak kecombrang akan dapat digunakan oleh masyarkat luas.
Sampai saat ini penulis masih belum dapat menemukan mengenai perbandingan komposisi zat pengawet dengan produk pangan. Namun, jika nantinya dilakukan penelitian lebih lanjut, maka akan dapat diketahui mengenai perbandingan komposisi yang tepat untuk pengawet alami tanaman kecombrang.
Bagaimanapun, semuanya tergantung dari kesadaran masyarakat itu sendiri. Tanpa masyarakat yang sadar akan kesehatan dan bahaya dari formalin, maka hal itu tidak akan membuat masyarakat jera. Terlebih jika yang dijadikan alasan adalah masalah ekonomi. Oleh karena itu, masyarakaat Indonesia seharusnya sadar akan bahaya dari pengawet formalin dan mulai beralih menggunakan pengawet alami. Dalam hal ini, ekstrak tanaman kecombrang.


BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
Dari makalah yang telah disusun oleh penulis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1.      Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 722/1988, Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/Menkes/PER/X/1999, UU No 7/1996 tentang Pangan dan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (Paisal 2007) formalin dilarang digunakan pada makanan.
2.      Telah terdapat berbagai kasus mengenai formalin yang diproses oleh polisi. Salah satunya adalah kasus mengenai pemasok bakso dan mie basah berformalin asal Magelang.
3.      Tanaman kecombrang memiliki aktivitas antioksidan dan ekstraknya dapat dibuat sebagai pengawet makanan.

4.2  Saran
Dari makalah yang telah penulis susun, penulis memiliki saran yang ditujukan kepada masyarakat Indonesia pada umumnya dan para pedagang makanan konvensional pada khususnya. Seharusnya para pedagang menyadari akan bahaya formalin bagi kesehatan dan mulai beralih pada pengawet alami yang tidak berbahaya bagi manusia.



DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Dhenok. 2007. Aplikasi Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia sp. horan) Sebagai Pengawet Mie Basah. Skripsi. ITB.
Sukandar, Dede , dkk. 2010. Karakterisasi Senyawa Aktif Antibakteri Ekstrak Air Bunga Kecombrang (Etlingera elatior) Sebagai Bahan Pangan Fungsional. 1:333-339.
http://id.wikipedia.org/wiki/Formaldehida